Jumat, 08 Januari 2021

Sindoro: Awal Mula

 

Halo! Sudah lama sekali sepertinya aku tidak “merumat” blog ini hehe. Waktu kulihat ternyata postingan terakhirku tertanda tahun 2017! Wow, lama sekali ya… Jadi akhir-akhir ini karena faktor gabut dimasa pandemi, aku mulai menulis hal-hal yang menurutku “daripada menuh-menuhin kepala” dan baru teringat kalau aku punya blog πŸ˜‚ yasudah, daripada hanya menuh-menuhin harddsik lebih baik aku unggah saja di blog, siapa tahu bisa menemani kegabutan pembaca hehe ✌ Langsung sajaaaahh~

                                                  (in frame: Anggit dan aku sedang ngerumpi di Sunrise Camp)                            

Pagi itu sekitar bulan Mei 2018 (aku lupa tepatnya), aku yang sedang berada di rumah  karena ada acara keluarga, menerima sebuah notifikasi WhatsApp yang memberitahu bahwa aku ditambahkan ke sebuah grup baru. Assa! Ternyata ini grup koordinasi pendakian yang kurencanakan bersama lima orang temanku. Aku belum pernah mendaki gunung sebelumnya, ya paling mendaki bukit di dekat rumah, itupun dulu ketika masih SD yang ketika itu selalu di posisi terakhir baik ketika naik maupun turun. Bukan karena aku “sweeper” (pendaki yang berada di posisi paling belakang dalam rombongan yang bertugas untuk memastikan anggota kelompok atau barang bawaan tidak tertinggal, dsb), tapi karena aku takut! Yah, aku memang cupu sih… haha… tapi ya aku “iya’-in aja tawaran temanku itu tanpa pikir panjang (yah, meski cupu an takut ketinggian aku dulu tukang main di hutan dan kebon jadi kupikir mendaki gunung akan seru).

Pendek kata, akhirnya tibalah pada hari dan tanggal yang sudah ditentukan untuk mendaki, yaitu tanggal 24 Agustus 2018. Rencana kami akan melakukan pendakian selama dua hari satu malam. Tim kami terdiri dari tiga orang laki-laki (Ahmad, Fajar, dan Abdul) dan tiga orang perempuan (Anggit, Ijah, dan aku). Btw, kami bukan pasangan kekasih lho ya, bukan lagi pedekate juga meskipun jomblo semua πŸ˜“. Karena kami para ciwi-ciwi belum pernah mendaki sama sekali maka sebelum hari H kami sudah diwanti-wanti terkait perlengkapan pribadi apa saja yang harus dibawa,”hmm ternyata cukup ribet, ya”, pikirku. Oh iya, untuk peralatan seperti tenda, matras, bahkan sleeping bag semua diurus oleh salah seorang teman laki-laki sebut saja Ican karena kami “para ciwi-ciwi” masih noob ^^,V

Awalnya kami janji berkumpul jam 8 pagi di kos Anggit, tapi yah namanya jam Indonesia pasti ada molor-molornya hehe. Sekitar jam 10 kami baru berkumpul fullteam di kos Anggit. Setelah packing dsb, kami berangkat menuju Wonosobo (oya, kami mendaki melalui jalur Kledung, Wonosobo). Perjalanan kami tempuh selama sekitar 4 jam lebih (plus mampir masjid, sempat nyasar, lalu Ahmad dan aku yang tertinggal rombongan di Temanggung wkwkw) dan sampai di basecamp Kledung sekitar pukul 15.30 WIB. Sesampainya di basecamp aku cukup kaget karena suaananya yang ruame pooll kaya pasar, suwer! Setelah ba-bi-bu ngantri-registrasi dan menitipkan barang yang sekiranya tidak perlu dibawa nanjak akhirnya kami berenam pun “let’s go!” sekitar pukul 16.30 WIB. Satu hal yang kuingat dan kupegang sampai sekarang “jangan mengambil apapun kecuali gambar, jangan meninggalkan apapun kecuali jejak, dan jangan membunuh apapun kecuali waktu”. Itu adalah kalimat yang diucapkan I selepas kami berdoa bersama, yang baru dikemudian hari aku tahu bahwa itu adalah kode etik tak tertulis bagi para pecinta alam, khususnya pendaki.

Dari basecamp kami melewati perkampungan warga lalu kebun-kebun sayuran sebelum memasuki hutan yang menandakan pendakian sebenarnya dimulai. Suasana Kledung ketika itu agak berkabut. Cukup dingin. Di seberang sana Gunung Sumbing Nampak berdiri dengan gagahnya. Tak lupa kami oun mengambil foto bersama maupun foto gagahnya Sumbing. Setelah melewati gerbang pendakian dan memasuki hutan, jalur yang tadinya cenderung santai pun mulai menanjak dan semakin menanjak. Sesekali kami berhenti untuk istirahat, ya maklum kami para ciwi-ciwi masih pemula^^, (beribu terima kasih untuk para cowo-cowo, terutama Ahmad yang begitu sabar heu~)

Kami terus berjalan, bahkan ketika hari sudah mulai gelap pun kami tetap melanjutkan perjalanan dan hanya berhenti sesekali untuk minum dan meluruskan kaki sejenak. Semakin lama jalur semakin menantang. Aku masih ingat ketika kami harus melewati jalur yang seperti tebing (entah  itu jalur mendekati pos 3 atau Sunrise Camp aku agak lupa), yang aku ingat dengan jelas adalah aku harus merangkak-rangkak berpegangan pada bebatuan dan rumput untuk memanjat semacam-tebing-itu dengan gemetaran. Dalam hatiku, “Mak, aku pengen pulang aja 😭”. Melirik ke bawah dan jantungku semakin deg-deg-ser macam waktu ketemu doi huehue, untung saja para cowo dapat diandalkan hehe mereka mambantu kami para ciwi (terutama aku yang sungguh lambat karena gemetaran).

Aku sungguh amat sangat bersyukur ketika berhasil melewati jalur tebing itu, ya walaupun perjalanan masih panjang dan jalur di depan juga sepertinya masih cukup terjal. Kami masih tetap melanjutkan perjalanan di tengah gelapnya malam dan cahaya lampu dari kejauhan. Sepanjang perjalanan naik kami tidak terlalu banyak bertemu pendaki, entahlah padahal kulihat di basecamp ramai sekali. Setelah melalui perjalanan panjang, kami akhirnya sampai di tempat camp sekitar tengah malam pukul 12. Kami mendirikan tenda di bawah sunrise camp (aku lupa apakah itu pos 3?). Ternyata di pos tersebut penuh oleh tenda pendaki, tapi untung saja kami menemukan sedikit ruang yang cukup untuk dua tenda dan tempat memasak, yah, meskipun tanahnya agak miring.

Kami mendirikan tenda (aku membantu sebisaku dikit-dikit 😝), memasak, makan dan minum minuman hangat, kami pun masuk ke tenda masing-masing karena sudah lelah+ngantuk+dingin bozz. Aku dan dua orang temanku Anggit dan Ijah kedinginan. Udara di Sindoro ketika itu memang sedang dingin-dinginnya karena bulan itu adalah puncak musim panas. Sulit sekali bagi kami bertiga untuk tidur ditengah udara super dingin itu, bahkan Ijah sempat menggigil dan (katanya) tidak bisa tidur sampai pagi. Ya, aku sih memang kedinginan tapi memang dasar kebo ya ujung-ujungnya molor juga hehe      

    
             

Pagi tiba. Matahari mulai menyembul dari persembunyiannya, hangat pun mulai merayapi tubuh-tubuh yang kedinginan. Aku dan Anggit keluar tenda dan melihat pemandangan sekitar “weh, sunrise gaes!”, aku kegirangan sambil kedinginan. Setelah menikmati sunrise (dan tentu saja cekrek sana cekrek sini) kami memasak sarapan (mie instan lagi πŸ˜“) dan makan bersama lalu bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan tanpa membongkar tenda. Di sunrise camp kami kembali foto-foto. Awalnya kukira kami akan naik sampai ke puncak tapi karena ternyata waktu tempuh masih cukup lama dan kebetulan Ahmad ada kegiatan di Jogja, akhirnya kami kembali ke tenda, beres-beres lalu turun gunung.

Perjalanan turun kami lalui dengan cukup lancar meskipun Anggit sempat mual-mual. Oh ya, ada kejadian lucu yang kualami. Ketika sedang turun dan fokus dengan jalan tiba-tiba dari arah berlawanan ada seorang pendaki yang meneriakiku “Wah, ada Nissa Sabyan! Mba Nissa sekarang naik gunung?”. “Ha?” aku kaget, mas-mas itu menghampiriku dan memanggilku “Nissa Sabyan” (dan diikuti oleh teman-teman serombongannya). Mas itu mengajakku salaman dan aku pun menyalaminya sambil mesam-mesem kebingungan “mirip dari mananya mas hehe” (siapa tahu masnya baca tulisan ini wkw makasih udah dibilang Nissa Sabyan tapi saya sadar diri 😭)

Singkat kata, kami selamat sampai Jogja pada malah hari selepas maghrib. Sesampainya di kos aku langsung disambut kaki yang pegal-pegal dan jalan yang terpincang-pincang wkw. Meskipun sukses membuat kaki gemetar, jantung dag-dig-dug-ser dan badan jadi pegal-pegal, tapi pendakian pertamaku itu justru menjadi awal mula aku jatuh cinta pada kegiatan pendakian dana lam terbuka, sekaligus sadar bahwa sebagai manusia aku hanyalah makhluk kecil dibanding alam semesta, lalu apa yang pantas disombongkan?

p.s.: karena aku suka membaca dan mendengarkan podcast pengalaman mistis pendaki, aku jadi bersyukur ketika melakukan trekking malam kala itu tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, entah itu mistis maupun kecelakaan dsb. Dan memang ketika itu aku sama sekali tidak berpikiran ke arah mistis, yang penting mendaki dan mempercayakan semua pada Ahmad selaku leader πŸ˜† (maklum noob hehe). Oh ya, sempat ada insiden hp-ku jatuh mendarat di bebatuan tebing, untung aja hp-ku baik-baik saja dan tetap berfungsi normal. HP Sungsang memang top!πŸ˜†

Tidak ada komentar:

Posting Komentar