Minggu, 10 Januari 2021

Birthcare Center: Baby Blues Itu Nyata!

 

        Halo readers! Balik lagi niiihh~ tapi beda dari postingan terakhir, kali ini aku kembali dengan ghibah drama baru (meski ngga baru-baru amat) dari tvN. Yap, drama ini berjudul “Birthcare Center”, yang tayang dari 2 November 2020 - 24 November 2020, dan bisa juga ditonton di VIU. Yok langsung cuss~


 
Pemeran Utama

Uhm Ji-Won sebagai Oh Hyun-Jin (workaholic yang “tiba-tiba” jadi ibu)

Park Ha-Sun sebagai Jo Eun-Jung (istri pemain golf terkenal, ibu idaman di Serenity yang ternyata menyimpan rahasia dan permasalahannya sendiri)

Jang Hye-Jin sebagai Choi Hye-Suk (pemilik “Serenity” birthcare center)

Yoon Park sebagai Kim Do-Yoon (suami Oh Hyun-Jin yang selalu sigap dan setia mendampingi istrinya. Emang idaman banget^^,)

Sinopsis

Drama ini bercerita tentang Oh Hyun-Jin, seorang workaholic yang menjabat sebagai eksekutif termuda di perusahaannya. Bersamaan dengan hari ia dinobatkan sebagai eksekutif muda, ia juga dinyatakan mengandung dan menjadi ibu hamil tertua di rumah sakit tersebut. Antara bahagia dan mengkhawatirkan karir dan kehidupannya kelak setelah melahirkan, Hyun-Jin mejalani hari-harinya dengan tetap bekerja meski sudah hamil tua dan mendekati waktu kelahirannya. Yang paling “wow” adalah bahkan Hyun-Jin pecah ketuban saat sedang meghadapi rekan bisnisnya dan dengan santuynya telpon rumah sakit sendiri, terus ke rumah sakit juga sendiri! “setrong amat ini emak-emak”😭

Setelah melewati rangkaian “mengerikan” dari proses persalinan, Hyun-Jin melahirkan bayi laki-laki yang dipanggil ‘Lem Stik” (belum dikasih nama resmi gais). Setelah melahirkan, ia pun tinggal sementara di pusat perawatan pasca melahirkan (birthcare center) “Serenity” untuk memulihkan dirinya pasca melahirkan juga untuk belajar tentang serba-serbi parenting. Di pusat perawatan tersebut Hyun-Jin adalah ibu tertua dan konflik pun mulai bermunculan ketika ia menyadari bahwa ia sama sekali tidak tahu-menahu soal merawat bayi karena selama hamil ia hanya sibuk bekerja tanpa melakukan persiapan untuk menjadi ibu. Air susunya pun tidak lancar sehingga ia cukup kesulitan menyusi Lem Stik. Belum lagi para ibu penghuni Serenity, terutama Jo Eun-Jung yang jadi ibu idaman,  aduh boend julidnya kagak ketulungan 😑 serta konflik-konflik lain yang datang silih berganti. Hyun-Jin selalu membanding-bandingkan dirinya dengan ibu lain dan semakin hari semakin tertekan karena merasa dirinya tidak pantas menjadi ibu, tapi untungnya akang suami, Kim Do-Yoon, selalu berada di sisi Hyun-Jin dan men-support-nya (selama nonton si akang suami bikin halu pen punya suami kek gini nanti wkwkw 😆).

“Saat semua orang mabuk dengan suka cita kelahiran bayi, ada satu orang yang meraskan hal yang sama denganku dan menatapku. Ibu…” (Birthcare Center, 2020)

“Persalinan mudah apanya? Astaga, tidak ada persalinan yang mudah.” (Birthcare Center, 2020)

Meski awalnya kesulitan beradaptasi,  tertekan dan merasa bersalah pada anaknya, lambat laun Hyun-Jin mulai bangkit dan bisa beradaptasi dengan peran barunya sebagai ibu. Ia juga mulai memberanikan diri berbaur dengan para ibu di Serenity (meski pernah konflik dan musuhan) demi belajar menjadi ibu yang baik bagi Lem Stik. Dari situ, Hyun-Jin belajar banyak hal. Bukan hanya tentang merawat bayinya tapi tentang makna menjadi ibu. Menjadi ibu bukanlah hal yang mudah, menjadi ibu adalah sebuah pengorbanan tapi bukan berarti kehilangan jati diri dan tidak boleh melakukan hal yang kita inginkan, karena itu juga hak seorang ibu. Ibu juga manusia, dan berhak bahagia. Dan yah, drama ini berakhir dengan happy ending. Semua konflik, baik milik Hyun-Jin maupun tokoh lain dapat terselesaikan. Setelah para ibu keluar dari Serenity, masing-masing dari mereka memulai kehidupan baru sebagai ibu dan masih tetap berhubungan baik.

“Seorang ibu yang baik bukanlah ibu yang sempurna, tapi seorang ibu yang berbahagia bersama anaknya. Berbahagialah.”(Birthcare Center, 2020)

“Para ibu pada dasarnya egois, karena kita juga manusia. Aku belajar dari membesarkan anak, bahwa yang paling penting adalah aku harus bahagia agar anak-anakku bisa bahagia. Lakukan yang kamu inginkan, berbahagialah!” (Birthcare Center, 2020)

Kesan dan Alasan HARUS Nonton Drama Ini

Drama ini termasuk drama yang padat, dengan 10 episode dan durasi sekitar satu jam per-episodenya. Alurnya mudah dipahami dan minim scene yang ngga perlu (kayaknya malah ngga ada deh) jadinya selama nonton 10 episode itu enjoy banget dan rasanya pengen nonton terus, mau ke kamar mandi aja jadi males 😆. Topik yang diangkat juga beda banget dari drama-drama yang sudah ada dan sebenarnya cukup berat dan tabu karena membahas “baby blues” dan stigma-stigma terkait ibu yang selama ini dipercaya oleh masyarakat luas. Misalnya saja “ibu itu harus memberi ASI eksklusif dua tahun penuh”, "ibu yang baik itu fulltime-mom”, “ibu yang baru melahirkan harus bahagia”, dsb. Meski begitu, semuanya digambarkan dengan cara yang ringan bahkan komedi 😆, seperti perdebatan tentang “ASI vs. Sufor” yang berawal dari perdebatan biasa antara dua orang mabuk di pojangmacha (kedai minum pinggir jalan) yang viral hingga menyebabkan kecelakaan bahkan perkelahian di Amerika. Belum lagi kekhawatiran-kekhawatiran Hyun-Jin terkait masa depan anaknya karena tidak memberikan ASI eksklusif dengan sempurna digambarkan dengan kehaluan yang warbyasah bikin ngakak. Kesalahpahaman Hyun-Jin pada suaminya yang dikira selingkuh tapi ternyata operasi wasir, dan banyak scenes lainnya membuatku semakin demen sama drama ini.

Intinya sih drama ini rekomen untuk ditonton, apalagi kalau kalian bosen dengan drama yang itu-itu aja atau drama yang berat dan bikin darah tinggi drama ini bisa jadi solusinya. Meski tema yang dibahas cukup berat dan ada konflik antar mamak-mamak yang bikin gereget juga tapi semuanya dikemas ringan tanpa perlu mikir konspirasi 😆. Paket lengkap yang bakal bikin kamu ketawa, matah, sedih, senang bergantian. 9/10 untuk drama manis ini 💓.

“Menjadi seorang ibu tidak hanya dipenuhi kebahagiaan. Terkadang juga menyedihkan, merana, dan menyakitkan.” (Birthcare Center, 2020)

Yak, sekian ghibah drama kali ini. Kedepannya aku akan berusaha rajin posting (harus istiqomah~ 😭). sampai jumpa di ghibah drama/ film atau postingan-postingan lainnya! Maaf kalau panjang kali lebar tapi semoga bisa berfaedah ya, bund. Terima kasih!

Jumat, 08 Januari 2021

Sindoro: Awal Mula

 

Halo! Sudah lama sekali sepertinya aku tidak “merumat” blog ini hehe. Waktu kulihat ternyata postingan terakhirku tertanda tahun 2017! Wow, lama sekali ya… Jadi akhir-akhir ini karena faktor gabut dimasa pandemi, aku mulai menulis hal-hal yang menurutku “daripada menuh-menuhin kepala” dan baru teringat kalau aku punya blog 😂 yasudah, daripada hanya menuh-menuhin harddsik lebih baik aku unggah saja di blog, siapa tahu bisa menemani kegabutan pembaca hehe ✌ Langsung sajaaaahh~

                                                  (in frame: Anggit dan aku sedang ngerumpi di Sunrise Camp)                            

Pagi itu sekitar bulan Mei 2018 (aku lupa tepatnya), aku yang sedang berada di rumah  karena ada acara keluarga, menerima sebuah notifikasi WhatsApp yang memberitahu bahwa aku ditambahkan ke sebuah grup baru. Assa! Ternyata ini grup koordinasi pendakian yang kurencanakan bersama lima orang temanku. Aku belum pernah mendaki gunung sebelumnya, ya paling mendaki bukit di dekat rumah, itupun dulu ketika masih SD yang ketika itu selalu di posisi terakhir baik ketika naik maupun turun. Bukan karena aku “sweeper” (pendaki yang berada di posisi paling belakang dalam rombongan yang bertugas untuk memastikan anggota kelompok atau barang bawaan tidak tertinggal, dsb), tapi karena aku takut! Yah, aku memang cupu sih… haha… tapi ya aku “iya’-in aja tawaran temanku itu tanpa pikir panjang (yah, meski cupu an takut ketinggian aku dulu tukang main di hutan dan kebon jadi kupikir mendaki gunung akan seru).

Pendek kata, akhirnya tibalah pada hari dan tanggal yang sudah ditentukan untuk mendaki, yaitu tanggal 24 Agustus 2018. Rencana kami akan melakukan pendakian selama dua hari satu malam. Tim kami terdiri dari tiga orang laki-laki (Ahmad, Fajar, dan Abdul) dan tiga orang perempuan (Anggit, Ijah, dan aku). Btw, kami bukan pasangan kekasih lho ya, bukan lagi pedekate juga meskipun jomblo semua 😓. Karena kami para ciwi-ciwi belum pernah mendaki sama sekali maka sebelum hari H kami sudah diwanti-wanti terkait perlengkapan pribadi apa saja yang harus dibawa,”hmm ternyata cukup ribet, ya”, pikirku. Oh iya, untuk peralatan seperti tenda, matras, bahkan sleeping bag semua diurus oleh salah seorang teman laki-laki sebut saja Ican karena kami “para ciwi-ciwi” masih noob ^^,V

Awalnya kami janji berkumpul jam 8 pagi di kos Anggit, tapi yah namanya jam Indonesia pasti ada molor-molornya hehe. Sekitar jam 10 kami baru berkumpul fullteam di kos Anggit. Setelah packing dsb, kami berangkat menuju Wonosobo (oya, kami mendaki melalui jalur Kledung, Wonosobo). Perjalanan kami tempuh selama sekitar 4 jam lebih (plus mampir masjid, sempat nyasar, lalu Ahmad dan aku yang tertinggal rombongan di Temanggung wkwkw) dan sampai di basecamp Kledung sekitar pukul 15.30 WIB. Sesampainya di basecamp aku cukup kaget karena suaananya yang ruame pooll kaya pasar, suwer! Setelah ba-bi-bu ngantri-registrasi dan menitipkan barang yang sekiranya tidak perlu dibawa nanjak akhirnya kami berenam pun “let’s go!” sekitar pukul 16.30 WIB. Satu hal yang kuingat dan kupegang sampai sekarang “jangan mengambil apapun kecuali gambar, jangan meninggalkan apapun kecuali jejak, dan jangan membunuh apapun kecuali waktu”. Itu adalah kalimat yang diucapkan I selepas kami berdoa bersama, yang baru dikemudian hari aku tahu bahwa itu adalah kode etik tak tertulis bagi para pecinta alam, khususnya pendaki.

Dari basecamp kami melewati perkampungan warga lalu kebun-kebun sayuran sebelum memasuki hutan yang menandakan pendakian sebenarnya dimulai. Suasana Kledung ketika itu agak berkabut. Cukup dingin. Di seberang sana Gunung Sumbing Nampak berdiri dengan gagahnya. Tak lupa kami oun mengambil foto bersama maupun foto gagahnya Sumbing. Setelah melewati gerbang pendakian dan memasuki hutan, jalur yang tadinya cenderung santai pun mulai menanjak dan semakin menanjak. Sesekali kami berhenti untuk istirahat, ya maklum kami para ciwi-ciwi masih pemula^^, (beribu terima kasih untuk para cowo-cowo, terutama Ahmad yang begitu sabar heu~)

Kami terus berjalan, bahkan ketika hari sudah mulai gelap pun kami tetap melanjutkan perjalanan dan hanya berhenti sesekali untuk minum dan meluruskan kaki sejenak. Semakin lama jalur semakin menantang. Aku masih ingat ketika kami harus melewati jalur yang seperti tebing (entah  itu jalur mendekati pos 3 atau Sunrise Camp aku agak lupa), yang aku ingat dengan jelas adalah aku harus merangkak-rangkak berpegangan pada bebatuan dan rumput untuk memanjat semacam-tebing-itu dengan gemetaran. Dalam hatiku, “Mak, aku pengen pulang aja 😭”. Melirik ke bawah dan jantungku semakin deg-deg-ser macam waktu ketemu doi huehue, untung saja para cowo dapat diandalkan hehe mereka mambantu kami para ciwi (terutama aku yang sungguh lambat karena gemetaran).

Aku sungguh amat sangat bersyukur ketika berhasil melewati jalur tebing itu, ya walaupun perjalanan masih panjang dan jalur di depan juga sepertinya masih cukup terjal. Kami masih tetap melanjutkan perjalanan di tengah gelapnya malam dan cahaya lampu dari kejauhan. Sepanjang perjalanan naik kami tidak terlalu banyak bertemu pendaki, entahlah padahal kulihat di basecamp ramai sekali. Setelah melalui perjalanan panjang, kami akhirnya sampai di tempat camp sekitar tengah malam pukul 12. Kami mendirikan tenda di bawah sunrise camp (aku lupa apakah itu pos 3?). Ternyata di pos tersebut penuh oleh tenda pendaki, tapi untung saja kami menemukan sedikit ruang yang cukup untuk dua tenda dan tempat memasak, yah, meskipun tanahnya agak miring.

Kami mendirikan tenda (aku membantu sebisaku dikit-dikit 😝), memasak, makan dan minum minuman hangat, kami pun masuk ke tenda masing-masing karena sudah lelah+ngantuk+dingin bozz. Aku dan dua orang temanku Anggit dan Ijah kedinginan. Udara di Sindoro ketika itu memang sedang dingin-dinginnya karena bulan itu adalah puncak musim panas. Sulit sekali bagi kami bertiga untuk tidur ditengah udara super dingin itu, bahkan Ijah sempat menggigil dan (katanya) tidak bisa tidur sampai pagi. Ya, aku sih memang kedinginan tapi memang dasar kebo ya ujung-ujungnya molor juga hehe      

    
             

Pagi tiba. Matahari mulai menyembul dari persembunyiannya, hangat pun mulai merayapi tubuh-tubuh yang kedinginan. Aku dan Anggit keluar tenda dan melihat pemandangan sekitar “weh, sunrise gaes!”, aku kegirangan sambil kedinginan. Setelah menikmati sunrise (dan tentu saja cekrek sana cekrek sini) kami memasak sarapan (mie instan lagi 😓) dan makan bersama lalu bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan tanpa membongkar tenda. Di sunrise camp kami kembali foto-foto. Awalnya kukira kami akan naik sampai ke puncak tapi karena ternyata waktu tempuh masih cukup lama dan kebetulan Ahmad ada kegiatan di Jogja, akhirnya kami kembali ke tenda, beres-beres lalu turun gunung.

Perjalanan turun kami lalui dengan cukup lancar meskipun Anggit sempat mual-mual. Oh ya, ada kejadian lucu yang kualami. Ketika sedang turun dan fokus dengan jalan tiba-tiba dari arah berlawanan ada seorang pendaki yang meneriakiku “Wah, ada Nissa Sabyan! Mba Nissa sekarang naik gunung?”. “Ha?” aku kaget, mas-mas itu menghampiriku dan memanggilku “Nissa Sabyan” (dan diikuti oleh teman-teman serombongannya). Mas itu mengajakku salaman dan aku pun menyalaminya sambil mesam-mesem kebingungan “mirip dari mananya mas hehe” (siapa tahu masnya baca tulisan ini wkw makasih udah dibilang Nissa Sabyan tapi saya sadar diri 😭)

Singkat kata, kami selamat sampai Jogja pada malah hari selepas maghrib. Sesampainya di kos aku langsung disambut kaki yang pegal-pegal dan jalan yang terpincang-pincang wkw. Meskipun sukses membuat kaki gemetar, jantung dag-dig-dug-ser dan badan jadi pegal-pegal, tapi pendakian pertamaku itu justru menjadi awal mula aku jatuh cinta pada kegiatan pendakian dana lam terbuka, sekaligus sadar bahwa sebagai manusia aku hanyalah makhluk kecil dibanding alam semesta, lalu apa yang pantas disombongkan?

p.s.: karena aku suka membaca dan mendengarkan podcast pengalaman mistis pendaki, aku jadi bersyukur ketika melakukan trekking malam kala itu tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, entah itu mistis maupun kecelakaan dsb. Dan memang ketika itu aku sama sekali tidak berpikiran ke arah mistis, yang penting mendaki dan mempercayakan semua pada Ahmad selaku leader 😆 (maklum noob hehe). Oh ya, sempat ada insiden hp-ku jatuh mendarat di bebatuan tebing, untung aja hp-ku baik-baik saja dan tetap berfungsi normal. HP Sungsang memang top!😆